بِسْــــــ...ــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
♥✿♥ ¸.•'´*♥ ♥ ✿ ♥ ♥*`'•`'•.¸♥✿♥
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan
kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak“,(Q.S Ali¬-Imran : 14)
Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya.
Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan.
Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya,
maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala.
Yang perlu dipahami, bahwa cinta atau kecenderungan hati itu adalah hiasan yang Allah beri kepada manusia. Terkadang ia bisa muncul karena sesuatu yang asalnya haram seperti pandangan kepada bukan mahromnya,
berkhalwat, adanya tabarruj oleh si wanita, ikhtilat, atau lainnya. Maka yang terganjar adalah amalan-amalan haram ini. Jika ia segera bertaubat dengan benar maka Allah mengampuninya, sedangkan rasa yang masih membekas di hatinya itu disyariatkan agar ia tahan dan simpan, ia menjaga kehormatan dirinya dengan tidak mengarahkan hasrat hatinya kepada suatu amalan yang haram selanjutnya.
Misalnya melanjutkan dengan pembicaraan, penyampaian,
pandangan lanjutan, hingga amalan zina lainnya yang lebih jauh.
Pernyataan cinta kepada yang belum berhak untuk mendapatkannya, itu adalah salah satu bentuk mewujudkan apa yang ada di hatinya itu menjadi suatu amalan dhahir yang terganjar.
Oleh karena itulah dalam risalah tersebut dijelaskan:
Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan
apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.
Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.
Subhanallah, sungguh mulia syariat ini menjaga hati-hati manusia agar senantiasa dapat mensucikan diri.
Apakah hal ini termasuk yang harus dijaga walau sudah dalam masa pinangan?
Na’am, sekalipun sudah dipinang dan sedang menunggu waktunya akad nikah, maka tetap mereka belum saling berhak satu sama lain. Belum ada suatu ikatan apapun yang menghalalkan antara keduanya. Maka wajib baginya untuk tetap menjaga dirinya dari suatu pelampiasan cinta dan kerinduan, baik dalam perkataan maupun perbuatannya.
Insya Allah demikian itulah yang lebih suci bagi hatinya dan lebih menjaga kehormatannya, serta lebih sesuai dengan ketentuan dalam syariat pernikahan. Jika dia tidak mengindahkan ini, maka apa bedanya dengan berpacaran?
Selanjutnya: Bolehkah dalam ta’aruf menyatakan kesungguhan
akan menikahi (datang melamar) tapi masih agak lama
(beberapa bulan – tahun) karena suatu alasan tertentu?
Beberapa waktu lalu kami diceritakan suatu keadaan, seorang akhwat yang ta’aruf dengan seorang ikhwan. Si ikhwan menyatakan kesungguhannya akan datang melamar untuk menikahi dalam waktu 1-2 tahun lagi insya Allah, belum tertentu waktunya, karena masih harus menyelesaikan mondoknya.
Setelah kami tanya-tanya,
ternyata yang seperti ini banyak terjadi, dan kelihatannya ikhwah di sini juga bingung dalam hal ini (mungkin sedang menghadapinya sendiri?).
Allahu a’lam, apa yang kami lihat dari keadaan di atas adalah tidak semestinya, kita bisa meninjaunya dari beberapa sisi diantaranya:
1. Dalam hal keadaan ikhwan tersebut, maka kita bisa katakan dia
sebenarnya belum siap untuk menikah, karena masih terhambat suatu urusan yang belum pasti selesainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang telah memiliki kemampuan (ba-ah) maka hendaklah dia menikah karena sesungguhnya menikah lebih menjaga kemaluan dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan maka hendaknya dia berpuasa karena berpuasa merupakan tameng baginya (HR. Bukhari Muslim)”
Beliau menyerukan ini kepada para pemuda yang telah memiliki kemampuan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan seksual, nafkah, dan tanggung jawab lainnya dalam pernikahan. Tapi kemudian Rasulullah menjadikan puasa sebagai tameng bagi yang belum mampu. Belum mampu apa? Justru diserukan agar berpuasa, adalah untuk menahan kemampuan seksualnya yang telah ada, tapi ia belum mampu dalam hal-hal lainnya.
Maka kami menyarankan, hendaknya ikhwah memperhatikan kemampuan dirinya, bahwa ia benar-benar siap untuk menikah, baru kemudian dia mencari calon istrinya. Misalnya kesiapan nafkah, ini hal yang tidak bisa tidak, karena bagaimanapun ia yang akan menanggung kebutuhan diri dan istrinya kelak. Jenis dan besarnya kemampuan tentu saja kembali kepada keadaan yang mencukupi sesuai jamannya, sehingga setidaknya dapat tercukupi apa yang harus/pokok bagi sebuah keluarga.
Ini juga membutuhkan saling pengertian bagi kedua pihak, janganlah si wanita menuntut yang berlebihan karena takut hidup miskin atau karena si ikhwan tingkat ekonominya di bawah keluarganya. Demikian juga bagi ikhwan tidak perlu pesimis, terlalu khawatir dan menganggap berat sekali, karena Allah telah menjanjikan akan mencukupkan rezki bagi para pemuda yang menikah demi menjaga agamanya. Hal ini banyak terbukti oleh ikhwah yang telah menikah.
Yang lainnya, misalnya kesiapan agamanya, seperti ilmu-ilmu yang menyangkut kewajiban dirinya, dan lainnya. Lihatlah kemampuan dirimu. Memang, disana ada penjelasan beberapa hukum menikah itu sendiri tergantung keadaannya, hal di atas bisa berubah tergantung maslahat dan mafsadat suatu keadaan seseorang. Antum bisa mempelajari lebih lanjut sendiri ttg ini.
Jika memang seorang ikhwan telah benar-benar siap menikah, maka insya Allah tidak akan ada halangan baginya untuk menunda waktu nikahnya, apalagi dengan segera nikah itu maka ia telah memenuhi seruan Rasulullah. Jika dia memang benar-benar siap untuk menikah, maka waktu yang dibutuhkan biasanya hanya waktu yang cukup untuk menyiapkan acara akad & walimahnya. Jika walimahnya sederhana sekali, bahkan bisa saja besok hari setelah melamar maka mereka langsung melangsungkan akad dan walimah.
Jika dia memang benar-benar siap menikah, maka tidak perlu lagi misalnya menunggu dia mencari pekerjaan yang mencukupi, atau menyelesaikan sekolahnya, menyelesaikan tugas atau dinas pekerjaannya. Jika itu semua masih menghalanginya dari segera menikah, maka berarti dia belum mampu untuk segera menikah.
2. Dalam hal keadaan akhwat tersebut, maka kita bisa katakan bahwa dengan itu dia dapat terzholimi.
Hal ini bisa terjadi demikian, misal saja akhwat tersebut sudah siap untuk menikah, baik kesiapan dirinya maupun dorongan dari keluarganya. Lalu seorang ikhwan minta ta’aruf, menyatakan cocok lalu bilang akan datang lagi setelah suatu waktu nanti, karena masih ada suatu hambatan yang harus diselesaikannya dulu sebelum datang lagi untuk melamar.
Akhwat biasanya jika diberikan pernyataan begitu maka dianggapnya cukup,
ia menunggu kedatangan ikhwan tersebut walau agak lama dan belum tertentu waktunya. Sangat mungkin si akhwat ini terpaksa menunggu sampai waktu tersebut karena si ikhwan tadi telah menyatakan cocok. Kebanyakan hal ini terjadi karena tidak pahamnya ikhwan dan akhwat ini atas keadaan ini. Akhwat ini pun tidak menerima ikhwan lainnya yang mencoba mau datang juga, padahal yang datang ini jauh lebih siap untuk segera menikahinya. Kami melihat ini bisa menjadi bentuk kedzholiman kepada akhwat tersebut:
* Karena si akhwat harus menunggu dalam jangka waktu yang tidak tertentu.
* Karena si akhwat harus menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama.
* Keluarga akhwat ini pun akhirnya harus menunggu dalam ketidakjelasan,kecuali mungkin yang jelas hanya satu: bahwa si ikhwan telah menyatakan cocok dan mau datang melamar si akhwat setelah urusannya selesai.
* Karena akhwat itu merasa tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menunggu dan menunggu. Padahal sebenarnya mereka belum memiliki suatu ikatan apapun yang secara syar’i dapat menahan salah satunya atas yang lain. Jadi keadaan yang terjadi pada mereka ini tidak memiliki landasan syar’i sama sekali, mungkin kecuali karena alasan untuk menjaga perasaan satu sama lain.
* Padahal bisa saja si akhwat sangat menginginkan segera menikah, mungkin karena alasan usianya, karena niat pribadinya agar menjaga kehormatannya, atau karena dorongan dari keluarganya.
Jika saja ikhwah menyadari hal ini, maka seharusnya mereka menjaga dirinya dari menyebabkan keadaan akhwat menjadi demikian. Ini karena si ikhwan ini maju ta’aruf kepada seorang akhwat padahal dia sama sekali belum siap untuk segera melamar lalu menikahi, bahkan tidak bisa memberi keputusan suatu waktu yang tertentu, juga tidak bisa menentukan suatu rentang waktu tunggu yang wajar sebagai masa yang cukup untuk menyiapkan suatu acara akad dan walimah.
Yang sebenarnya, dia memang belum lengkap kesiapan atau
kemampuannya untuk segera menikah, namun dia ingin agar
dirinya atau diri si akhwat ada semacam keterikatan supaya tidak
beralih ke lain orang...Wallahu'alam Bishawab...
♥<~~✿•*¨`*•.♥✿♥✿•*Aamiin ya Robbal 'alamiin *•✿♥✿ ♥.•*¨`*•✿~~>♥
.♥✿✿•*¨`*•.♥✿♥✿ •* Renungan ♫♥✿♥♫♥ Qalbu *•✿♥✿•♥ .•*¨`*•✿✿♥.
Salam Uhibbukum Fiilah "
<~~~ ♥ ~ ✿ ~ ♥ ~~~>
Syukron,,,
BalasHapusInsya allah dikunjungi,,Jazakillah khairan...